Wednesday, December 2, 2009

Perseteruan kpk vs polri.....


KEKISRUHAN antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak Polri serta Kejaksaan Agung masih berlanjut hingga saat ini. Selama pihak Kejagung dan Polri masih bertekad meneruskan penyidikan dugaan kasus pemerasan yang dilakukan dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, selama itu pula dukungan masyarakat terhadap KPK dan antipati terhadap Polri dan Kejagung akan terus mengalir.

Namun di balik itu semua, mari kita telusuri bagaimana nasib penanganan kasus korupsi di pengadilan umum yang dimotori oleh polisi dan Kejagung, serta penanganan kasus korupsi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimotori oleh KPK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) senantiasa mengeluarkan hasil pengamatan mereka terhadap putusan pengadilan umum terhadap berbagai kasus korupsi. Hasilnya, mayoritas kasus korupsi yang ditangani di pengadilan umum divonis bebas atau divonis ringan.

Bahkan untuk semester I tahun 2009, ICW memberikan status juara pada hakim karier di pengadilan umum karena banyak membebaskan para koruptor. Sebanyak 68,9 persen koruptor di semester I tahun 2009 dibebaskan begitu saja. Sementara untuk kasus korupsi yang ditangani di Pengadilan Tipikor, sejak berdiri, tidak pernah ada seorang koruptor pun yang dibebaskan.

Selama semester I tahun 2009, terdapat 119 perkara korupsi dengan 222 orang terdakwa yang diputus dan divonis oleh pengadilan umum di seluruh Indonesia mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri 82 perkara), banding (Pengadilan Tinggi 12 perkara), dan kasasi atau peninjauan kembali (Mahkamah Agung 15 perkara).

Dari 222 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, 153 terdakwa (68,92%) divonis bebas atau lepas oleh pengadilan. Sementara yang divonis bersalah hanya 69 terdakwa (31,08%) saja. “Hal ini menjadi bukti bahwa komitmen hakim karier di pengadilan umum untuk memberantas korupsi sangat rendah, dan data ICW tersebut menjadi rapor merah hakim karier dalam pemberantasan korupsi selama pertengahan 2009,” ungkap peneliti hukum ICW, Febri Diansyah.

Meskipun Ketua MA Harifin Tumpa pada 15 Januari 2009 lalu menyatakan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, menurut dia, tetapi fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Pengadilan umum selama enam bulan di bawah kepemimpinannya gagal memberi dukungan pada upaya pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu, ICW mengecam kinerja hakim karier dan menobatkan mereka sebagai juara atau pemenang pertama dalam membebaskan terdakwa korupsi. “Ini sangat merugikan Indonesia khususnya dalam penegakan supreasi hukum. Karena nilai rupiah dari kasus-kasus yang ditangani pengadilan umum selama semester I tahun 2009 ini diperkirakan mencapai Rp 1,662 triliun,” kata Febri menambahkan.

Menurut data ICW, hukuman bersalah yang dijatuhkan pengadilan umum kepada terdakwa korupsi selama semester I 2009 ini juga belum memberi efek jera. Dari 69 terdakwa yang divonis bersalah, 28 terdakwa (12,61%) hukumannya di bawah 1 tahun penjara, 17 terdakwa (7,66%) hukumannya 1,1 tahun hingga 2 tahun, 11 terdakwa (4,95%) hukumannya 2,1 tahun hingga 5 tahun, tiga terdakwa (0,45%) hukumannya 5,1 tahun hingga 10 tahun, dan satu terdakwa (0,45%) hukumannya di atas 10 tahun penjara.

Memprihatinkan

“Yang memprihatinkan terdapat sembilan terdakwa (4,05%) perkara korupsi yang divonis percobaan. Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan umum terhadap para koruptor hanya 6,2 bulan penjara,” kata Febri lagi.

Hal ini tak berbeda dengan kondisi pada tahun 2008. Berdasarkan pantauan ICW sepanjang tahun 2008, dari 444 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan umum, 277 terdakwa (62,38 %) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 167 terdakwa (37,61 %) yang akhirnya divonis bersalah. Namun dari 167 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut, dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.

Sebanyak 78 terdakwa (17,57%) divonis di bawah 1 tahun penjara . Di atas 1,1 tahun hingga 2 tahun 55 terdakwa (12,39%) atau divonis 2,1 tahun hingga 5 tahun 18 terdakwa (4,05%) serta divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun yaitu 5 terdakwa (1,12%). Hingga tahun 2008 berakhir hanya ada 1 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,22 %). Hal yang memprihatinkan di tahun 2008, terdapat 10 terdakwa perkara korupsi yang divonis percobaan (2,25%). Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Umum selama tahun 2008 adalah 5,82 bulan penjara.

“Jumlah terdakwa yang divonis bebas atau lepas pada tahun 2008, berdasarkan pantauan ICW, yaitu 277 terdakwa. Kenyataannya, angka tersebut menambah jumlah terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan oleh Pengadilan Umum. Dengan demikian, selama empat tahun terakhir sejak 2005 hingga 2008, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas oleh pengadilan umum,” ujar Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho.

Kondisi tersebut, lanjutnya, sangat kontras dengan Pengadilan Tipikor. Sejak 2005 hingga 2008, Pengadilan Tipikor setidaknya telah mengadili 92 terdakwa perkara korupsi. Tiada seorang pun (0 %) yang divonis bebas. Vonis yang diberikan pun cukup memberikan efek jera bagi pelaku yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.

“Kondisi pengadilan umum di Indonesia yang dinilai masih marak praktik jual beli keadilan, menjadi alasan bagi masyarakat menolak kasus-kasus korupsi diadili oleh pengadilan umum. Pihak internasional juga belum melihat pengadilan umum punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Setidaknya ini terlihat dari berbagai survei menyangkut lembaga peradilan. Terakhir, riset PERC (Political Economic and Risk Consultancy) yang berbasis di Hong Kong tahun 2008 menunjukkan, posisi pengadilan Indonesia terburuk se-Asia,” ujar Emerson lagi.

Sengaja dilemahkan

Ia menilai, fenomena masih maraknya putusan bebas atau lepas di pengadilan umum dapat terjadi akibat beberapa sebab. Seperti terdakwa memang tidak terbukti bersalah, dakwaan yang disusun oleh jaksa lemah atau sengaja dilemahkan, hakim mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan bagi terdakwa, atau karena kombinasi antara dakwaan yang lemah dan hakim yang mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan.

Penyebab lainnya mengapa vonis bebas marak di pengadilan umum, yakni tren banyak terdakwa yang divonis ringan sesuai dengan batas minimal penjatuhan pidana yang ditentukan oleh UU 31/1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU 20/2001 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 3 dalam UU itu disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah, dijatuhi pidana penjara paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara. Tercatat dari 92 terdakwa yang divonis bersalah, 36 terdakwa atau lebih sepertiganya divonis hanya 1 tahun penjara. Dalam hal ini terlihat bahwa hakim cenderung menjatuhkan pidana pada batas minimal yang ditentukan,” tutur emerson.

“Umumnya mereka dijatuhi vonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dengan kondisi ini, dapat dipastikan tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan bersalah,” kata Emerson lagi.

Beberapa fakta dan uraian mengenai vonis bebas atau lepas di pengadilan umum tersebut pada akhirnya dapat memberikan kesimpulan awal bahwa baik pimpinan MA dan pengadilan umum kenyataannya belum sepenuhnya berpihak kepada agenda pemberantasan korupsi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat luas lebih banyak mendukung KPK dan Pengadilan Tipikor dibanding polisi, kejaksaan dan pengadilan umum. Sebab, sejak tahun 2005 hingga 2009 kasus korupsi yang ditangani KPK dan bermuara di Pengadilan Tipikor tak ada seorang pun yang divonis bebas atau dilepaskan begitu saja. Sedangkan di pengadilan umum, mayoritas justru dibebaskan. Kalaupun ada hukuman tidak memberi efek jera.

Eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor dalam pemberantasan korupsi ini, seakan membuat “gerah” beberapa pihak yang kemudian berupaya melemahkan dua institusi tersebut. Antara lain dengan upaya mengkriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah serta upaya revisi UU Pengadilan Tipikor di DPR.

Keadaan ini yang dinamakan oleh para aktivis antikorupsi sebagai kondisi pukulan balik dari para koruptor. Namun, kekuatan civil society rupanya terus bergerak, berupaya membendung kekuatan para koruptor untuk memukul balik KPK dan Pengadilan Tipikor. Apa yang dilakukan masyarakat tersebut dengan satu alasan utama, ingin kehidupan rakyat Indonesia lebih sejahtera. Sebab korupsi adalah penyebab utama bobroknya kehidupan Indonesia selama ini.

0 comments:

Post a Comment

 

web lainya

About Me

My photo
surabaya, jawa timur, Indonesia

Yang ngeliat blogku.....

Support By

Banner Link Sobat



kata-irhamna


Valliant

Traffic



© 3 Columns Newspaper Copyright by News | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks